Monthly Archives: November 2008

integrasi ekonomi

Integrasi Ekonomi ASEAN+3: Antara Peluang dan Ancaman PDF Print E-mail
Written by Noer Azam Achsani
Thursday, 21 August 2008 17:39
naa_Memasuki awal abad 21 dunia ditandai dengan terjadinya proses integrasi di berbagai belahan dunia, khususnya dalam bidang ekonomi. Proses integrasi ini penting dilakukan masing-masing kawasan untuk bisa bersaing dengan kawasan lainnya dalam menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia.

Kisah sukses integrasi kawasan dicontohkan oleh Uni Eropa (UE) yang mampu menyatukan 15 negara eropa barat ke dalam satu kesatuan pasar, yang ditandai dengan diciptakannya mata uang bersama Euro. Kalaupun Euro belum diadopsi oleh Inggris dan beberapa negara skandinavia, tetap saja kemunculan Euro menjadi fenomena bersejarah serta menjadi salah satu mata uang paling penting di dunia selain Dollar Amerika.

Tahun 2004 bahkan menjadi momen bersejarah bagi Eropa dan dunia, ketika UE menambah keanngotaannya hingga menjadi 25 negara dengan memasukkan 10 negara Eropa Timur dan bekas Uni Sovyet. Proses integrasi belum akan berakhir, karena ada beberapa negara yang akan bergabung dalam tahun-tahun mendatang. EU bagaimanapun telah berhasil menyatukan Eropa ke dalam satu wadah (hal yang sebenarnya sudah dicita-citakan sejak jaman Napoleon Bonaparte), yang akan menjadikan Eropa satu kawasan yang damai dan stabil dengan tingkat kemakmuran yang merata.

Keberhasilan EU membentuk satu pasar tunggal mengilhami ASEAN untuk melakukan hal yang sama. Pada KTT ASEAN Oktober 2002 di Kamboja, PM Singapura Goh Cok Tong mengusulkan agar di tahun 2020 dibentuk apa yang disebutnya sebagai pasar tunggal ASEAN mencontoh keberhasilan pembentukan pasar tunggal Eropa yang diberlakukan di kawasan Uni Eropa.  Usulan ini langsung mendapat dukungan penuh dari PM Thailand Thaksin Shinawatra dan PM Malaysia Mahathir Mohammad.  Ide ini akhirnya terwujud dengan ditandatanganinya Bali Concorde II  pada tanggal 7 Oktober 2003, yang menyepakati terbentuknya ASEAN Community pada tahun 2020 dengan tiga pilar utama: ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community dan ASEAN Socio-Culture Community.

Penyatuan ASEAN ke dalam ASEAN Community ini tentunya akan membawa dampak yang luar biasa besar, tidak hanya dari sisi ekonomi tetapi juga dalam segala aspek kehidupan lainnya. Dari sisi ekonomi misalnya, penyatuan ini akan menciptakan pasar yang mencakup wilayah seluas 4,5 juta km2 dengan populasi sekitar 500 juta jiwa (jumlah yang setara dengan UE saat ini), total perdagangan leboh dari 720 milyar dollar per tahun serta produk domestik bruto (PDB) lebih dari737 milyar dollar. Sebagai gambaran, kesepakatan perdagangan bebas ASEAN mampu meningkatkan perdagangan intra ASEAN dari 43,26 milyar dollar pada tahun 1993 menjadi 80 milyar dollar pada tahun 1996, atau dengan rata-rata pertumbuhan 28,3 persen per tahun. Share perdagangan intra ASEAN terhadap total perdagangan juga meningkat dari 20 menjadi 25 persen. Penyatuan ASEAN ke dalam pasar tunggal diyakini akan memberikan dampak sangat besar.

Lebih jauh lagi, Mr. Osamu Watanabe (Presiden Organisasi Perdagangan Luar Negeri Jepang JETRO) memimpikan terjadinya integrasi ekonomi ASEAN plus 3 –China, Jepang dan Korea. ASEAN+3 akan menghasilkan pasar yang jauh lebih besar dengan populasi lebih dari 3 milyar manusia, sehingga dampaknya pun akan jauh lebih dahsyat. Proses ke arah sana sudah dimulai dengan ditandatanganinya kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area serta Comprehensive Economic Partnership antara ASEAN-Jepang dan ASEAN-Korea Selatan. Bahkan, ekonomi Asia Timur akan makin besar dengan hadirnya India. Tanggal 29 Juni 2005 lalu India  telah menandatangani Comprehensive Economic Co-operation Agreement dengan Singapura. Pada bulan November 2004, India dan ASEAN pun telah menandatangani kesepakatan India-ASEAN Regional Trade and Investment Area sebagai awal kerjasama India-ASEAN pada masa-masa mendatang.

ASEAN Economic Community atau Pasar Tunggal ASEAN 2020 kira-kira bisa digambarkan sebagai satu kawasan ekonomi tanpa frontier (batas antar negara) dimana setiap penduduk maupun sumber daya dari setiap negara anggota bisa bergerak bebas (sebagaimana dalam negeri sendiri).  Tujuannya adalah untuk mencapai tingkat kegunaan yang paling optimal yang pada akhirnya akan mendorong tercapainya tingkat kemakmuran (kesejahteraan) yang sama (merata) diantara negara-negara anggota ASEAN.

Konsep ini dilandasi oleh empat pilar utama sebagai berikut:

  1. Free movement of goods and services. Konsep ini memungkinkan terjadinya pergerakan barang-barang dan jasa tanpa ada hambatan (pajak bea masuk, tarif, quota dll), yang merupakan bentuk lanjut dari kawasan perdagangan bebas (sebagaimana AFTA) dengan menghilangkan segala bentuk hambatan perdagangan (obstacles) yang tersisa. Dengan demikian, barang-barang produksi negara anggota ASEAN akan bebas diperjual belikan di seluruh kawasan sebagaimana di negeri sendiri.  Pada akhirnya konsumen akan bisa mendapatkan barang „terbaik“ dengan harga „termurah“
  2. Freedom of movement for skilled and talented labours. Konsep ini dimaksudkan untuk mendorong terjadinya mobilitas tenaga kerja sesuai dengan tuntutan pasar dan memberi kesempatan kepada setiap pekerja untuk menemukan pekerjaan terbaik sesuai dengan kualifikasi yang dimiliki. Selanjutnya, mobilitas tenaga kerja akan mendorong terjadinya kontak dan meningkatkan saling pengertian antar sesama penduduk negara-negara ASEAN.

Berbeda dengan konsep UE yang memungkinkan terjadinya pergerakan tenaga kerja secara bebas, ASEAN hanya akan mengijinkannya untuk tenaga kerja pada kategori terdidik. Konsekuensinya, hanya orang-orang terdidik lah yang bebas bekerja dimana saja, sementara tenaga kerja tak terdidik tidak akan mendapat kesempatan. Hal ini menurut hemat saya merupakan satu kecolongan buat Indonesia, mengingat kondisi mayoritas tenaga kerja kita belum masuk ke dalam kategori ini.

  1. Freedom of establishment and provision of services and mutual recognition of diplomas.  Konsep ini menjamin setiap expert warga negara ASEAN akan bebas membuka praktek layanan di setiap wilayah ASEAN tanpa ada diskriminasi kewarganegaraan.  Konsekuensinya setiap dokter, akuntan, pengacara dan WNI profesional lainnya akan bebas membuka praktek di negara-negara ASEAN lainnya, sebagaimana halnya dokter serta profesional dari negara ASEAN akan bebas membuka praktek di seluruh wilayah Indonesia.
  2. Free movement of capital. Konsep ini akan menjamin bahwa modal atau kapital akan bisa berpindah secara leluasa diantara negara-negara ASEAN, yang secara teoritis memungkinkan terjadinya penanaman modal secara efisien.  Dengan demikian, setiap pemilik modal baik WNI maupun waga negara lainnya akan bebas dan leluasa memindahkan investasinya dari Indonesia ke negara ASEAN –atau sebaliknya– demi mencapai efisiensi tertinggi tanpa bisa dicegah.

Lalu apa dampaknya bagi Indonesia?  Sangat besar tentunya.

Pertama, perdagangan antar negara akan berlangsung sangat bebas, jauh lebih bebas dari era AFTA. Di dalam AFTA, pemerintah masih dimungkinkan misalnya menerapkan bea masuk 1 sampai 5 persen atau juga mengeluarkan kebijakan khusus untuk melindungi industri atau barang-barang produksi dalam negeri yang sangat sensitif.  Sebaliknya, dalam era PTA barang-barang produk Indonesia akan sepenuhnya bersaing dengan barang-barang produksi negara lainnya.  Dengan kualitas yang ada saat ini serta tingginya pajak dan pungutan sebagaimana banyak dikeluhkan pengusaha, niscaya akan sangat sulit bagi barang Indoneisa untuk bisa bersaing.  Vietnam dan Kamboja memiliki keunggulan dalam hal tenaga kerja yang lebih murah, sedangkan Singapura, Malaysia dan Thailand sangat bersaing dalam kualitas dan juga manajemen.

Kedua, pergerakan tenaga kerja akan terjadi secara bebas yang bisa memberikan dampak luar biasa bagi Indonesia.  Di satu sisi, persaingan tenaga kerja di dalam negeri akan sangat kompetitif.  Pekerja kita tidak hanya akan bersaing dengan sesama WNI, tetapi juga dengan seluruh warga ASEAN.  Konsekuensinya, tenaga kerja Indonesia harus memiliki kemampuan yang lebih tinggi atau minimal sama dengan tenaga kerja luar agar bisa memperoleh pekerjaan yang layak.  Padahal, kita tahu pasti bahwa kualitas pendidikan kita termasuk yang paling buruk diantara negara-negara ASEAN.  Di lain pihak, kita juga sadar betul bahwa negeri-negeri tetangga kita menawarkan berbagai „iming-iming“ untuk menarik ahli-ahli kita agar mau hijrah ke luar negeri.  Kasus hengkangnya sejumlah doktor ke Malaysia, Singapura dan Brunei yang menjadi berita hangat tahun lalu adalah contoh yang sangat nyata.  Jadi masuknya tenaga asing ke Indonesia serta keluarnya tenaga Indonesia ke luar negeri sama-sama bisa menimbulkan efek yang luar biasa besar.

Selain itu, akan terbuka pula kesempatan bagi dokter, pengacara, akuntan, ahli asuransi serta profesional dari negara lain untuk membuka praktek di Indonesia.  Konsekuensinya, jika kualitas dokter dan profesional kita tidak bisa bersaing, maka mereka-mereka terpaksa menjadi penonton di negeri sendiri. Dalam mengatasi hal ini, asosiasi profesi semacam Ikatan Dokter Indoneisa, Persatuan Insinyur Indonesia, Persatuan Aktuaris Indonesia dan asosiasi lainnya seharusnya bisa berperan secara signifikan.

Ketiga, persaingan untuk menarik investasi bagi kelangsungan pembangunan juga akan semakin berat dengan adanya prinsip free movement of capital.  Jika dilihat dari kacamata ini, kasus hengkangnya Sony, Aiwa, Nike dan perusahaan lainnya dari Indonesia –yang sangat ramai dibicarakan dalam bulan November-Desember 2002 — adalah fenomena yang sangat wajar dan tidak perlu ditanggapi secara emosional.  Bahkan, bukan tidak mungkin pengusaha-pengusaha nasional kita justru akan menanamkan modalnya di negara-negara anggota ASEAN lain demi mencapai efisiensi yang lebih baik.

Bagaimana kesiapan Indonesia?

Untuk melihat kesiapan masing-masing negara ASEAN+3, penulis melakukan simulasi dengan menggunakan alat bantu metode Fuzzy-Clustering  pada data negara-negara ASEAN+3 dari tahun 1990-2001.  Untuk melihat pengaruh “krisis keuangan Asia 1997”, data dipecah menjadi dua periode (sebelum dan setelah krisis).  Peubah yang digunakan dalam simulasi ini sama dengan kriteria-nya EU (Maastrich Treaty Criterion), yaitu debt/GDP Ratio, budget-deficit/GDP Ratio, exchange rates stability, inflation rates dan long-term interest rates.

Dari hasil simulasi, negara-negara ASEAN+3 bisa digolongkan ke dalam 5 kelompok sebagai berikut:
I     : Singapore, Jepang, Korea dan China.
II     : Malaysia-Vietnam-Thailand
III     : Indonesia-Filipina
IV     : Myanmar, Kamboja, Laos
V     : Brunei

Kelompok I beranggotakan negara-negara big-economy di kawasan Asia Timur. Singapura, Jepang dan Korea adalah negara-negara paling kaya yang bisa menjadi sumber investasi bagi negara lainnya. Sebaliknya China meskipun bukan negara kaya, tetapi ia merupakan negara paling menjanjikan di dunia saat ini. China tumbuh secara konsisten selama dekade terakhir, nyaris tidak terimbas krisis Asia 1997 dan bahkan merupakan tujuan utama foreign direct investment (FDI) saat ini.

Kelompok II terdiri dari Thailand, Malaysia dan Vietnam. Thailand dan Malaysia adalah dua negara new industrialized countreis Asia (NIC). Ekonomi mereka relatif stabil dan mereka pun relatif cepat keluar dari krisis Asia 1997. Akan halnya Vietnam, ia tidaklah semaju Thailand dan Malaysia, tetapi juga memiliki pertumbuhan ekonomi yang konsisten selama dekade terakhir serta menjadi tujuan FDI terbesar kedua setelah China.

Kelompok III beranggotakan Indonesia dan Philippina. Keduanya juga termasuk ke dalam kategori NIC. Akan tetapi keduanya terkena krisis berkepanjangan sejak tahun 1997 dan sampai saat ini belum juga pulih. Kedua negara juga menghadapi masalah ekonomi yang sangat besar, yang ditandai dengan tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran serta kurangnya infrastruktur.

Kelompok IV merupakan kelompok dari negara-negara miskin: Myanmar, Kamboja dan Laos. Sebalinya Kelompok V hanya memiliki satu anggota yaitu Brunei Darussalam. Meskipun Brunei negara yang kaya, tetapi karena kecilnya luas wilayah dan jumlah penduduk, ia hanya memiliki pengaruh kecil terhadap ekonomi Asia Timur.

Dari pengelompokan tersebut, jelas terlihat bahwa Indonesia ada di kelompok tengah bersama Filipina. Bisa dikatakan bahwa posisi Indonesia hanya lebih baik dari Myanmar, Laos dan Kamboja.  Indonesia bahkan kalah dari Vietnam yang merupakan anggota “baru” ASEAN.

Dari hasil pengelompokan tersebut, kita juga bisa menjelaskan fenomena-fenomena ekonomi yang terjadi selama ini. Pertama, hasil ini memperkuat sinyalemen kenapa investor asing cenderung menutup investasinya dari Indonesia sebagaimana kasus Sony, Aiwa, Nike dll (mungkin juga dari Filipina) dan mengalihkannya ke Vietnam, Malaysia atau China.  Kedua, ini juga memberikan justifikasi ilmiah kenapa Mahathir Mohammad dan Takshin Sinawatra langsung mengatakan „ya“ ketika PM Goh mengutarakan ide Pasar Tunggal ASEAN pada KTT-ASEAN di Kamboja November 2002 lalu. Ketiga, menjadi bisa dimengerti pula kenapa Mr. Watanabe (Direktur JETRO Jepang) minta supaya pasar tunggal juga mencakup Korea Selatan, China dan Jepang.  Semuan kebijakan dan komentar tersebut ternyata dilakukan dengan perhitungan sangat matang.

Harus disadari bahwa keikutsertaan Indonesia ke dalam blok semacam ini tentunya merupakan „keputusan politik“ pemerintah. Kalau PM Goh, PM Thaksin dan Ketua JETRO Watanabe mendukung ide demikian, tentunya itu bukan sekedar dukungan semata.  Tim ahli mereka tentu sudah memikirkan segala aspek positif maupun negatifnya. Oleh karena itu, Indonesia sudah seharusnya memetik pelajaran berharga. Sudah saatnya pemerintah maupun para ahli kita mengkaji secara mendalam dan memikirkan masak-masak segala persoalan yang terkait dengannya.  Berbagai studi serta persiapan maksimal perlu dilakukan agar kita bisa mengambil manfaat sebesar-besarnya. Tahapan-tahapan yang realistis perlu dipikirkan untuk menekan dampak negatif yang mungkin timbul.

Di satu sisi, integrasi ekonomi ASEAN+3 memberikan peluang yang besar bagi Indonesia untuk maju berkembang mencapai kemakmuran bersama anggota ASEAN+3 lainnya. Di lain fihak, proses integrasi juga bisa menjadi ancaman besar bagi ekonomi Indonesia bila pemerintah dan rakyat Indonesia tidak mempersiapkan diri dengan baik. Yamazawa dkk (1992) mengingatkan bahwa „….the benefits of such development would not be evenly distributed among members, but occurred mainly to the most advanced members in the groups”. Kalau ini yang terjadi, ekonomi negara-negara ASEAN+3 tidak akan semakin konvergen, tetapi justru semakin divergen.